Kamis, 03 Maret 2016

Cerpen "Hujan di Bulan September"

Dalam catatan sebuah pena kehidupan, seorang gadis berusia belasan duduk di bangku sekolah luar biasa. Saat itu Agustus telah bergulir menjadi September. Bulan di mana aku terlahir menjelma menjadi sesosok manusia yang ‘ntah akan menjadikanku manusia yang sempurna atau tidak.
Setiap malam selalu ada doa yang diam-diam terpanjat dalam sepertiga malam yang panjang. Sujudku begitu khusyuk. Bibir bergetar dalam angan yang panjang. Aku terlahir dalam posisi yang berbeda dengan kebanyakan anak-anak lainnya. Aku hanya seorang gadis tuna wicara. Huruf dan kata-kata adalah musuh terberatku. Dalam catatan hidupku, ketika sepasang mata ini melihat, kedua telinga ini mendengar, bibir ini merekah, memasang senyum, kebahagiaan hidupku sudah sempurna.
September adalah bulan di mana aku sangat menantikan masa remajaku. Masa remaja yang kurindu ‘ntah akan menjadikanku sesosok remaja yang memiliki sejuta tawa atau tidak sama sekali. Anne adalah teman sebangkuku yang duduk paling ujung. Sama sepertiku, ia pun sosok gadis yang memiliki keterbatasan. Kaki kirinya harus diamputasi karena suatu keadaan. Aku yang tak mampu berkata menjadi mampu ketika Anne menjadikanku kuat untuk berkata.
Setiap hari aku menghabiskan waktuku bersama Anne. Di rumah, ayah dan ibu selalu menyambutku ketika senja mulai muncul. Orang-orang melihatku dengan pandangan yang berbeda. Dari kejauhan aku hanya dapat melihat teman-teman sebayaku bermain bersama penuh canda. Aku yang hanya dapat menyesali keterbatasanku, tak mampu mengembalikan masa kecilku yang telah hilang.
Seperti biasa, pagi aku kembali menjalani rutinitasku menjadi seorang pelajar sekolah luar biasa. Hatiku menjerit setiap aku memasuki gerbang sekolahku. Aku yang berbeda dengan anak-anak kebanyakan, membuat hariku memasuki lubang hitam nan pekat.
“Kamu kenapa?” Tanya Anne gadis keturunan Arab.
Seperti biasa aku hanya menjawabnya dengan simbol-simbol yang menyerupai sandi semapur.
“Kita memang terlahir tidak sempurna seperti anak-anak kebanyakan, tapi itu bukan berarti membuat kita diam! Anak-anak di luar sana yang mampu berlari, tertawa, dan berkata tak tentu mereka mampu seperti kita.”
Sekejap aku lantas pergi meninggalkan Anne. Aku berlari ke tempat di mana aku dapat membuang kebodohku ini. Siang itu aku mendengar suara dari kejauhan,
“Selamat kepada Anne karena telah lulus seleksi lomba biola ke tingkat nasional.” Sontak aku terkejut mendengarnya. Aku langsung menemui Anne dan memberikan ucapan selamat sekaligus perpisahan bahwa ia harus pergi melajutkan lomba bermain biolanya, ya memang Anne adalah gadis yang pandai memainkan biola, sejak kecil Anne sudah belajar memainkan biola bersama ibunya. Tak heran jika ia kini dapat melanjutkan cita-citanya menjadi pemain musik biola sampai mancanegara.
“Kamu harus mengejar cita-citamu, Fatima. Keterbatasan kita bukan membuat kita kaku untuk berkarya. Gapai mimpimu. Kini kau sudah menjadi gadis remaja tepat di bulan September. Aku yakin kamu kelak akan menjadi orang yang hebat! Selamat mengulang hari lahir, ya!” Peluk Anne erat.
Hari-hariku kini sudah hilang bersama Anne, di bulan September yang aku rindukan justru melepaskan aku dengan teman kecilku. Andai waktu dapat kembali, aku lebih memilih untuk selalu bersama Anne daripada aku bertemu dengan masa remajaku.  Tak ada lagi gadis yang menungguku di baris ketiga bangku sekolah, tak ada lagi gadis yang membuatku pergi ke taman belakang sekolah tempat aku mengadu akan kebodohanku. Bahkan aku pun bingung untuk mencari cara bagaimana menjelaskan rindu kepada seseorang yang entah di mana saat ini.
Kini aku hanya menuliskan sedikit dari kisahku dalam buku dairy yang diberikan oleh Anne sebelum iya pergi.
“Kalau kamu mau curhat denganku, kamu bisa tuliskan semuanya di dairy ini ya!” kalimat itu masih terekam dalam telingaku. Aku berusaha merebahkan setiap cerita bersama Anne dalam untaian kata-kata di dairy-ku. Hingga aku memutuskan untuk mengirimkan tulisanku ke sebuah email majalah dengan tujuan Anne akan membaca ceritaku dan tahu akan kabar sahabatnya dulu.
Tak ku sangka, pak pos berdiri di depan rumahku dengan membawa selembar kertas. Hitam di atas putih membuatku terperanga akan apa yang aku lihat. “SELAMAT CERPEN ANDA MENDAPATKAN NOMINASI CERPEN TERFAVORIT” Kata itu yang tertulis dalam selembar kertas yang dibawa pak pos yang tampak lusuh. Apa yang Anne katakan bahwa keterbatasan tidak akan membuat kita kaku untuk berkarya kini telah aku pahami maknanya. Melalui majalah yang memuat cerpenku, kini kisahku dan Anne abadi dalam bingkai cerita pendek yang kuukir dalam untaian barisan kata. Terkejut aku melihat pak pos yang berkulit gelap kembali membuka gerbang rumahku. Ia memberikan sepucuk surat yang tertuliskan nama Anne dalam sampul depannya. Ya Anne mengirimkan surat kecil untukku melalui pak pos yang seminggu lalu datang ke rumahku.
Dear Fatima yang kurindu,
Fatima, salam rindu untukmu. Aku sangat bangga karena bisa menjadi teman terbaikmu, terlebih cerita kita kau abadikan dalam cerita pendekmu “Hujan di Bulan September”. Kini kau sudah menjadi remaja yang hebat. Teruslah berkarya dalam keterbatasan yang kita miliki. Tuhan menciptakan setiap hambanya dengan sempurna. Kau dan aku kelak akan bertemu dalam satu tempat kesuksesan. Sekalipun kita tidak bertemu, mungkin saat ini kita tengah melihat langit yang sama, tersenyum menatap rembulan yang sama.

                                                                                                                         Salam hangat,
                                                                                                                         Anne sahabat kecilmu

Kini cerita pendekku “Hujan di Bulan September” membawaku dalam angan yang panjang. Orang-orang mengenalku dalam “Hujan di Bulan September”. Cerita pendek yang berisi kisah di mana aku saat itu dalam posisi menggantung dan bergulat dalam batin, sekaligus membuatku teringat pada sosok remaja yang bernama Anne yang kini sudah terbang dalam kesuksesan dawai yang dimilikinya. Aku sadar Tuhan menciptakanku dalam kebisuan yang panjang. Tuhan menginginkanku untuk merebahkan setiap kata dalam untaian kata-kata.



Selalu ada jalan bagi orang yang berjuang
dan selalu ada halangan bagi orang yang banyak alasan

-Lia Martina-