Dalam catatan sebuah pena kehidupan,
seorang gadis berusia belasan duduk di bangku sekolah luar biasa. Saat itu
Agustus telah bergulir menjadi September. Bulan di mana aku terlahir menjelma
menjadi sesosok manusia yang ‘ntah akan menjadikanku manusia yang sempurna atau
tidak.
Setiap malam selalu ada doa yang
diam-diam terpanjat dalam sepertiga malam yang panjang. Sujudku begitu khusyuk.
Bibir bergetar dalam angan yang panjang. Aku terlahir dalam posisi yang berbeda
dengan kebanyakan anak-anak lainnya. Aku hanya seorang gadis tuna wicara. Huruf
dan kata-kata adalah musuh terberatku. Dalam catatan hidupku, ketika sepasang
mata ini melihat, kedua telinga ini mendengar, bibir ini merekah, memasang
senyum, kebahagiaan hidupku sudah sempurna.
September adalah bulan di mana aku
sangat menantikan masa remajaku. Masa remaja yang kurindu ‘ntah akan
menjadikanku sesosok remaja yang memiliki sejuta tawa atau tidak sama sekali.
Anne adalah teman sebangkuku yang duduk paling ujung. Sama sepertiku, ia pun
sosok gadis yang memiliki keterbatasan. Kaki kirinya harus diamputasi karena
suatu keadaan. Aku yang tak mampu berkata menjadi mampu ketika Anne
menjadikanku kuat untuk berkata.
Setiap hari aku menghabiskan waktuku
bersama Anne. Di rumah, ayah dan ibu selalu menyambutku ketika senja mulai
muncul. Orang-orang melihatku dengan pandangan yang berbeda. Dari kejauhan aku
hanya dapat melihat teman-teman sebayaku bermain bersama penuh canda. Aku yang
hanya dapat menyesali keterbatasanku, tak mampu mengembalikan masa kecilku yang
telah hilang.
Seperti biasa, pagi aku kembali
menjalani rutinitasku menjadi seorang pelajar sekolah luar biasa. Hatiku
menjerit setiap aku memasuki gerbang sekolahku. Aku yang berbeda dengan anak-anak
kebanyakan, membuat hariku memasuki lubang hitam nan pekat.
“Kamu kenapa?” Tanya Anne gadis
keturunan Arab.
Seperti biasa aku hanya menjawabnya
dengan simbol-simbol yang menyerupai sandi semapur.
“Kita memang terlahir tidak sempurna
seperti anak-anak kebanyakan, tapi itu bukan berarti membuat kita diam!
Anak-anak di luar sana yang mampu berlari, tertawa, dan berkata tak tentu
mereka mampu seperti kita.”
Sekejap aku lantas pergi meninggalkan
Anne. Aku berlari ke tempat di mana aku dapat membuang kebodohku ini. Siang itu
aku mendengar suara dari kejauhan,
“Selamat kepada Anne karena telah
lulus seleksi lomba biola ke tingkat nasional.” Sontak aku terkejut
mendengarnya. Aku langsung menemui Anne dan memberikan ucapan selamat sekaligus
perpisahan bahwa ia harus pergi melajutkan lomba bermain biolanya, ya memang
Anne adalah gadis yang pandai memainkan biola, sejak kecil Anne sudah belajar
memainkan biola bersama ibunya. Tak heran jika ia kini dapat melanjutkan
cita-citanya menjadi pemain musik biola sampai mancanegara.
“Kamu harus mengejar cita-citamu,
Fatima. Keterbatasan kita bukan membuat kita kaku untuk berkarya. Gapai
mimpimu. Kini kau sudah menjadi gadis remaja tepat di bulan September. Aku
yakin kamu kelak akan menjadi orang yang hebat! Selamat mengulang hari lahir,
ya!” Peluk Anne erat.
Hari-hariku kini sudah hilang bersama
Anne, di bulan September yang aku rindukan justru melepaskan aku dengan teman
kecilku. Andai waktu dapat kembali, aku lebih memilih untuk selalu bersama Anne
daripada aku bertemu dengan masa remajaku.
Tak ada lagi gadis yang menungguku di baris ketiga bangku sekolah, tak
ada lagi gadis yang membuatku pergi ke taman belakang sekolah tempat aku
mengadu akan kebodohanku. Bahkan aku pun bingung untuk mencari cara bagaimana
menjelaskan rindu kepada seseorang yang entah di mana saat ini.
Kini aku hanya menuliskan sedikit dari
kisahku dalam buku dairy yang
diberikan oleh Anne sebelum iya pergi.
“Kalau kamu mau curhat denganku, kamu
bisa tuliskan semuanya di dairy ini
ya!” kalimat itu masih terekam dalam telingaku. Aku berusaha merebahkan setiap
cerita bersama Anne dalam untaian kata-kata di dairy-ku. Hingga aku memutuskan untuk mengirimkan tulisanku ke
sebuah email majalah dengan tujuan
Anne akan membaca ceritaku dan tahu akan kabar sahabatnya dulu.
Tak ku sangka, pak pos berdiri di
depan rumahku dengan membawa selembar kertas. Hitam di atas putih membuatku
terperanga akan apa yang aku lihat. “SELAMAT CERPEN ANDA MENDAPATKAN NOMINASI
CERPEN TERFAVORIT” Kata itu yang tertulis dalam selembar kertas yang dibawa pak
pos yang tampak lusuh. Apa yang Anne katakan bahwa keterbatasan tidak akan
membuat kita kaku untuk berkarya kini telah aku pahami maknanya. Melalui majalah
yang memuat cerpenku, kini kisahku dan Anne abadi dalam bingkai cerita pendek
yang kuukir dalam untaian barisan kata. Terkejut aku melihat pak pos yang
berkulit gelap kembali membuka gerbang rumahku. Ia memberikan sepucuk surat
yang tertuliskan nama Anne dalam sampul depannya. Ya Anne mengirimkan surat
kecil untukku melalui pak pos yang seminggu lalu datang ke rumahku.
Dear Fatima
yang kurindu,
Fatima, salam
rindu untukmu. Aku sangat bangga karena bisa menjadi teman terbaikmu,
terlebih cerita kita kau abadikan dalam cerita pendekmu “Hujan di Bulan
September”. Kini kau sudah menjadi remaja yang hebat. Teruslah berkarya dalam
keterbatasan yang kita miliki. Tuhan menciptakan setiap hambanya dengan
sempurna. Kau dan aku kelak akan bertemu dalam satu tempat kesuksesan. Sekalipun
kita tidak bertemu, mungkin saat ini kita tengah melihat langit yang sama,
tersenyum menatap rembulan yang sama.
Salam hangat,
Anne sahabat kecilmu
|
Kini cerita pendekku “Hujan di Bulan
September” membawaku dalam angan yang panjang. Orang-orang mengenalku dalam
“Hujan di Bulan September”. Cerita pendek yang berisi kisah di mana aku saat itu
dalam posisi menggantung dan bergulat dalam batin, sekaligus membuatku teringat
pada sosok remaja yang bernama Anne yang kini sudah terbang dalam kesuksesan
dawai yang dimilikinya. Aku sadar Tuhan menciptakanku dalam kebisuan yang
panjang. Tuhan menginginkanku untuk merebahkan setiap kata dalam untaian
kata-kata.
Selalu ada
jalan bagi orang yang berjuang
dan selalu
ada halangan bagi orang yang banyak alasan
-Lia
Martina-